![]() ![]() ![]() ![]() ![]() Tweet ![]()
| ||
Article Time Stamp: 30 March 2008, 19:58:18 GMT+7 |
Yuk, Memanen Keuntungan dari Saham Perkebunan
Sejak minyak mentah menembus level psikologis US$ 100 per barel, harga CPO ikut terkerek. Tengok, saja Bursa Derivatif Malaysia.
Kontrak perdagangan CPO pengiriman April 2008 mencetak harga tertinggi sepanjang sejarah, yaitu RM 4.321 (US$ 1.363,74) per ton pada 3 Maret lalu. "Padahal harga CPO rata-rata tahun 2007 masih di bawah RM 2.500 per ton," ujar Ryan Ariadi Suwarno, analis Dongsuh Kolibindo.
Pada hari yang sama, harga CPO di Pelabuhan Rotterdam mencetak rekor tertinggi US$ 1.407 per ton. Padahal, harga rata-rata CPO pada 2007 sekitar US$ 700 per ton.
Selain harga minyak menggila, ada sebab lain yang bikin harga CPO melonjak. Pertama, CPO merupakan komoditas vital yaitu sebagai energi alternatif yang dipakai di seluruh dunia, seperti untuk sabun dan minyak goreng.
Kedua, China yang merupakan salah satu pemasok CPO dunia mengalami kerusakan lahan akibat musim dingin. Ketiga, suhu politik Malaysia yang memanas. Terakhir, wacana kenaikan pajak ekspor komoditas perkebunan dan tambang di Indonesia.
Dua penyebab terakhir ini sangat berpengaruh, mengingat Indonesia dan Malaysia adalah pemasok 85% CPO di pasar internasional. Jika ekspor kedua negara itu berkurang, harga CPO pun bisa naik lebih tinggi.
Belakangan harga CPO sempat melemah. "Karena sudah naik kencang, secara teknikal dalam jangka pendek akan turun dulu," ujar Kepala Riset Paramitra Alfa Sekuritas Pardomuan Sihombing.
Produksi CPO dunia tahun ini diperkirakan 41,4 juta ton. Sedangkan konsumsinya 40,3 juta ton. Margin produksi dan konsumsi masih cukup tipis, sehingga ada kemungkinan harga CPO bertahan di posisi cukup tinggi.
Tadinya, Ryan memprediksi target harga CPO tahun ini RM 3.000-RM 3.300 per ton. Namun, ia merevisi jadi RM 3.600-RM 3.800 per ton. Analis Credit Suisse Teddy Oetomo juga menaikkan asumsi harga CPO 2008, dari RM 2.800 menjadi RM 3.600 per ton.
Sejauh mana dampak kenaikan harga CPO ini mempengaruhi emiten perkebunan kelapa sawit ? Simak rekomendasi berikut.
PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI)
Tahun lalu menjadi tahun yang menggembirakan bagi AALI. Anak perusahaan Astra International ini berhasil membukukan laba bersih 2007 Rp 1,9 triliun atau melonjak 150,7% dari tahun sebelumnya. Sedangkan penjualan 2007 sebesar Rp 5,96 triliun atau naik 58,6% dari tahun 2006. Padahal, volume penjualan CPO AALI tahun ini 857.824 ton, turun 6,2% dari tahun sebelumnya.
Untuk meningkatkan kinerja, AALI telah menganggarkan belanja modal Rp 1,5 triliun tahun ini. Sekitar 20% sampai 25% dari dana itu akan digunakan untuk berburu lahan baru. Saat ini luas lahan AALI sudah mencapai 300.000 ha; terdiri dari 235.000 ha lahan tertanami dan 70.000 ha lahan yang belum tertanami.
Tahun ini AALI berencana menambah 200.000 ha lahan, sehingga lahannya bisa 500.000 ha. Sedangkan selebihnya akan digunakan untuk mengembangkan kebun; seperti menanam dan merawat kelapa sawit, serta menyediakan infrastruktur dan lain-lain.
"Tahun ini kami menargetkan volume penjualan CPO mencapai 990.000 ton," ujar Hubungan Investor AALI Tjahyo Dwi Ariantono. AALI juga tetap fokus memasarkan CPO di dalam negeri karena lebih menguntungkan. Selain tidak terkena pajak ekspor, pembayarannya juga lebih cepat.
Oleh karena itu, tidak aneh, para analis merekomendasikan beli untuk saham AALI. "Apalagi harga sahamnya masih di bawah Rp 30.000-an. Masih murah dan menguntungkan," ujar Ryan. Ia menargetkan harga AALI dalam 12 bulan ke depan bisa Rp 41.800 per saham. Padahal harga saham AALI sendiri pada penutupan perdagangan Senin (17/3) berada di Rp 23.100 per saham.
PT London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP)
Sama halnya AALI, kinerja keuangan LSIP tahun lalu cukup mengkilat. LSIP mencatat perbaikan nilai penjualan 35% menjadi Rp 2,9 triliun. Penyebabnya apalagi kalau bukan meningkatnya volume penjualan dan naiknya harga CPO menjadi US$ 800 per ton, dari US$ 515 per ton pada 2006.
Walhasil, laba kotor menguat tajam 97,4% menjadi Rp 1,09 triliun, dan laba usaha naik signifikan 117,9% menjadi Rp 990,9 miliar. Sementara itu, laba bersih LSIP naik secara substansial sebesar 86,1% menjadi Rp 564 miliar.
"Sejak diambil alih Indofood, LSIP makin fokus untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," ujar analis AAA Securities A. Lukmansyah Sjarkawi. Ini merupakan keuntungan. LSIP tidak begitu terpengaruh bila pajak ekspor naik menjadi 20%.
Dalam risetnya, Kepala Riset BNI Securities Norico Gaman memprediksi, tahun ini LSIP masih mampu meningkatkan nilai penjualan menjadi Rp 4,09 triliun, dengan pencapaian laba bersih menjadi Rp 675,4 miliar. Tingginya harga CPO dunia yang di atas US$ 1.200 per ton menjadi penyokongnya.
Alhasil, para analis masih merekomendasikan beli hingga 12 bulan. BNI Securities berani pasang target Rp 23.000, sedang Lukmansyah Rp 13.550 per saham, dari harga penutupan Rp 8.600 (17/3).
PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP)
Melihat tingginya harga komoditas, UNSP memutuskan bergerak cepat dengan akuisisi. Tahun ini UNSP bertekad menambah lahannya sekitar 50.000 ha, dari yang sekarang 120.000 ha untuk CPO dan 25.000 ha untuk karet.
Walau kinerja keuangannya belum dipublikasi, namun Direktur Keuangan UNSP Harry M. Nadir memberi perkiraan pendapatan perusahaannya di tahun 2007 naik 66% dari tahun sebelumnya menjadi sekitar Rp 1,96 triliun. Sedangkan laba bersihnya naik 25% menjadi sekitar Rp 217 miliar.
Kenaikannya tidak sedrastis emiten lain, tapi Harry mengaku optimistis tahun ini UNSP mampu menghasilkan kinerja lebih optimal. "Kami perkirakan pendapatan dan laba bersih tahun ini naik 100% dibanding 2007," ujar Harry. Lantaran kegigihannya mengakuisisi lahan baru, para analis masih memasang rekomendasi beli untuk saham UNSP dengan target Rp 2.850 per saham hingga akhir 2008. Sampai Senin (17/3) lalu, harga saham UNSP berada di posisi Rp 1.760. Walaupun, dari price earning ratio (PER), saham UNSP lebih mahal. Saat ini, PER saham UNSP 40,1 kali, bandingkan dengan AALI yang 19,3 kali atau LSIP yang 23 kali.
PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO)
Perusahaan milik Keluarga Sampoerna ini baru pertengahan tahun lalu mejeng di bursa. Namun, sahamnya menjadi salah satu emiten kebun yang masuk dalam radar investor. Terbukti dari pergerakan sahamnya yang naik 52% dari pencatatan perdana hingga penutupan 17 Maret 2008 menjadi Rp 3.375 per saham.
Direktur SGRO Eddy Kurniawan mengatakan, tahun ini SGRO yang sudah punya lahan 78.710 ha berniat menambah 15.000 ha lahan baru. Dananya berasal dari belanja modal 2008 yang mencapai Rp 600 miliar. "Tahun ini, kami berharap dapat mencapai volume produksi 1,27 juta ton. Sedangkan tahun lalu, volume produksi kami sekitar 1,18 juta ton," ujar Eddy.
Selain untuk mengakuisisi lahan baru, belanja modal tersebut akan digunakan untuk memperbaiki infrastruktur dan memperluas pabrik di Kalimantan dan Sumatra. Tahun lalu, SGRO membukukan pendapatan Rp 1,61 triliun atau naik 52% ketimbang 2006. Sedangkan untuk laba bersih, SGRO belum mau buka mulut karena belum dipublikasikan.
Teddy dalam risetnya memprediksi, laba bersih SGRO tahun lalu Rp 206,5 miliar, naik 191,7% dari 2006 yang Rp 70,8 miliar. Dengan rencana penambahan lahan baru, kinerja SGRO tahun ini diperkirakan lebih cerah. Teddy menargetkan harga SGRO mencapai Rp 5.400 dalam 12 bulan ke depan.
Nah, mau berkebun di mana?
Penulis: Magdalena S., Ayyi Achmad, Yuwono Triatmodjo
Sumber: Kontan, Minggu Kedua Maret 2008
Copyrighted@ Monx Digital Library, otherwise stated
Use of our service is protected by our Terms of Use